Selasa, 11 November 2008

PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM

Telaah Struktur Dasar Jiwa Manusia

Pendahuluan

Struktur dasar jiwa manusia dalam pandangan Muhammad Shafii[1], terkait erat dengan konsep nafs[2](jiwa). Untuk menemukan kata yang setara dengan nafs dalam bahasa Inggris cukup sulit. Seringkali kata nafs diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai soul[3] (jiwa). Walaupun begitu, kata “soul” hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat teologis dan metafisik dan tidak menggambarkan kedalaman dan keluasan dari konsep nafs sendiri, atau lebih spesifiknya tidak mewakili arti psikologis dari nafs itu sendiri. Arti yang paling mendekati nafs dalam Bahasa Inggris adalah “personality”, “self”, atau “level of personality development”.[4] Karena tidak ada kata yang setara dalam bahasa Indonesia maupun Inggris secara tepat, kata nafs tetap dipertahankan penyertaan aslinya dalam tulisan ini.

Ibnu Sina[5] sebagaimana dikutip Muhammad Shafii[6], telah menulis secara luas tentang struktur dasar kepribadian dan variasi nafs. Ibnu Sina dalam membahas tentang jiwa mendasarkan pada tulisan Al-Farabi terutama untuk memahami pandangan filosofi Yunani tentang jiwa. Ibnu Sina berusaha menyatukan pemikiran-pemikiran para Sufi dan tulisan Aristoteles dalam psikologi kepribadian dan variasi nafs. Ia mendasarkan pada pada tulisan Al-Farabi untuk memahami filosofi Yunani. Ibnu Sina menyatukan pemikiran-pemikiran Sufi dan tulisan Aristoteles dalam psikologi kepribadian manusia seperti yang terdapat dalam karyanya “De Anima” dan mengembangkan sebuah kesatuan dan konsep holistik dari struktur kepribadian.[7]

Menurut Ibnu Sina seluruh hal yang hidup, selain memiliki dimensi mineral atau keadaan anorganik, juga mempunyai nafs atau beberapa nafs, tergantung pada tingkat perkembangannya dalam lingkaran evolusi. Nafs dikenali dari energi-energi dan fungsi-fungsinya. Semua tanaman, binatang, dan manusia mempunyai tiga fungsi secara umum: mencari makanan, pertumbuhan, dan reproduksi. Tiga fungsi ini merupakan hal sangat penting (esensial) untuk semua bentuk kehidupan. Binatang dan menusia berbeda dibanding tumbuhan, karena manusia dan binatang dikaruniai mampu untuk berpindah dengan sendirinya dan persepsi sensorik. Manusia berbeda dari binatang karena kemampuan intelektualnya. Untuk lebih jelasnya ketiga jiwa diatas, yaitu jiwa tumbuhan binatang dan manusia akan dibahas berikut ini:

JIWA TUMBUHAN (NAFS-NABATI)

Jiwa tumbuhan (nafs-an-nabati) adalah nafs paling dasar yang ada dalam tumbuhan, binatang, manusia, dan semua benda hidup. Pencarian makanan, pertumbuhan, dan reproduksi, sebagai fungsi esensial dari semua bentuk kehidupan, menurut Ibnu Sina[8] adalah manifestasi dari nafs pada tingkat tumbuhan ini.

JIWA BINATANG (NAFS-HEWANI)

Selain memiliki nafs-nabati, binatang dan manusia juga dikaruniai dengan nafs-hewani (nafs-al-haiwani). Nafs-hewani ini terdiri dari dua daya kekuatan yang besar, yaitu: (1)daya kekuatan pendorong (quwa-al-muharrika) dan (2)daya kemampuan persepsi (quwa-al-mudrika) daya pendorong menurut Ibnu sina di atas tampaknya dapat dibandingkan dengan konsep id dalam psikologi ego.

(1) Kekuatan Pendorong (quwa-al-muharrika)

Kata quwa berarti tenaga, energi, dan daya kekuatan atau daya kemampuan, dan muharrika berarti dorongan impuls, stimulus, dan yang membangkitkan tindakan dan gerakan. Daya kekuatan pendorong terdiri dari dua tipe:

a) Dorongan sensual (quwat-al-shahwati) berarti daya kekuatan atau libido seksual. Daya kekuatan ini mendorong binantang dan manusia untuk mengejar dan merasakan kenikmatan.

b) Dorongan kemarahan (quwat-al-ghazabi) berarti dorongan kemarahan, murka, dan agresi. Kecenderungan bertempur atau berlari (fight or flight) dengan kecenderungan merusak, adalah bentuk dari dorongan ini.[9]

Daya kekuatan pendorong merupakan sebuah kombinasi dari dorongan sensual dan dorongan kemarahan yang disebut dalam Al-Qur’an (12:53) sebagai nafs-al-ammara, yaitu nafs yang dikuasai oleh dorongan, dan kekuatan yang merusak, daya kekuatan ini mendorong binatang dan manusia bertindak tanpa henti, tanpa hambatan, atau tanpa berpikir panjang. Dengan dorongan nafs ini, manusia, seperti juga binatang, dapat bertindak menuruti keinginan hatinya untuk bertingkah laku yang sebenarnya menurut nuraninya tidak ingin mereka lakukan. Kesenangan terhadap hasrat-hasrat seksual yang membutuhkan kepuasan segera, kurangnya kontrol diri dalam bentuk kemarahan yang berlebihan, tindakan-tindakan destruktif, pembunuhan, atau bunuh diri adalah bentuk ekstrim dari ekspresi nafs ini. Egoisme, ketamakkan, preokupasi terhadap kepemilikan harta juga termasuk perwujudan dari nafs ini[10] Schimmel (1975) dalam karya ilmiahnya, Mystical Dimensions of Islam, menjelaskan bahwa ketika Psikolog Islam menggunakan kata nafs, mereka cenderung mengidentikkan dengan nafs-hewani[11] Nafs dianggap oleh para psikolog muslim sebagai sesuatu yang konkrit. Tidak hanya sebuah konsep belaka atau hanya sebuah ide yang abstrak. Nafs-hewani sering diidentikkan dengan seekor anjing pencuri, ular yang berbahaya, rubah yang licik, unta dalam cuaca yang panas, dan sering juga disamakan dengan kuda liar. Para psikolog muslim memperlakukan dimensi binatang dalam diri manusia ini tidak untuk dibunuh atau dihilangkan, tetapi dimanfaatkan sebagai energi dalam rangka pertumbuhan psikospiritual yang lebih tinggi. Khususnya dalam tahap yang lebih awal dari perkembangan psikomistis, seseorang membutuhkan kesadaran akan hasrat, impuls, dan tendensi-tendensi dorongan ini. Kesadaran dan kemampuan untuk memanfaatkan “energi hewan” ini dapat memberikan kemampuan psikologis untuk berjalan lebih jauh spanjang jalan menuju Realitas (Tuhan).

Dibawah ini akan dipaparkan perbandingan antara pemikiran psikolog muslim dan psikologi ego, dimulai dengan pembahasan tentang daya kekuatan pendorong dari nafs-hewani yang mirip dengan konsep id dari teori struktural psikoanalisis[12] setelah lebih dari 30 tahun menyempurnakan konsep psikoanalisis, mengemukakan dalam The Ego and the Id, sebuah konsepsi teoritis yang dikenal sebagai teori struktural. Strachey[13], sebagaimana dikutip Shafii, menegaskan bahwa Buku “The Ego and the Id” adalah tulisan teoritis terakhir dari Freud, yang menggambarkan tentang masalah jiwa dan cara kerjanya, dimana tulisan ini merupakan pandangan baru yang revolusioner. Semua tulisan psikoanalitik yang muncul setelah publikasi itu menunjukkan adanya pengaruh dari pemikiran tersebut. Menurut teori struktural, jiwa terdiri dari tiga bagian: id, ego, dan superego. “Ketiganya disebut ‘struktur’ karena adanya konsistensi pada tujuannya dan konsistensi dalam cara kerjanya”.[14]

Id adalah keseluruhan bagian bawah sadar dari jiwa, dan melambangkan dorongan instingtif dari seks dan agresi. Istilah “id”, sebagaimana dijelaskan oleh Freud sendiri, adalah berasal dari bahasa Jerman, yaitu ”das Es” istilah ini dirujuk dari George Groddeck, seorang dokter yang praktek di Baden-Baden, yang mengagumi psikoanalisis dan bersimpati terhadap ide-ide Freud, sedangkan istilah id sendiri, sebenarnya telah diawali oleh Nietzsche.[15]

Id melambangkan nafsu, irasional, dan dorongan dalam kehidupan manusia. Dengan memilih istilah “id”, Freud mengartikannya dalam bahasa Inggris, secara spesifik menggaris-bawahi alam kebinatangan pada dorongan ini. Menurut Freud, id terdiri dari dua dorongan insting utama. Ia menyatakan kedua insting tersebut adalah dua golongan insting, salah satunya adalah insting seksual atau Eros, yang sejauh ini sangat menarik dan mudah untuk dipelajari. Golongan kedua adalah insting yang tidak mudah untuk ditunjukkan, yang kemudian dikenal dengan sebutan sadisme sebagai perwujudannya. Pada dasar pertimbangan teoritis, didukung oleh ilmu biologi, Freud mengemukakan hipotesis tentang adanya “insting kematian”[16], yang tugasnya adalah mengarahkan kehidupan organik menjadi keadaan benda mati. Konsep insting kematian ternyata menimbulkan kontroversi dan kemudian dimodifikasi dan diperluas oleh Hartmann (1939) dan Anna Freud (1945) yang selanjutnya sekarang dikenal sebagai dorongan agresif.

Meskipun antara psikolog muslim dan psikolog barat, mereka dipisahkan oleh kultur dan hidup pada waktu yang berbeda, ternyata pengamatan mereka menghasilkan kesimpulan yang sama. Psikolog muslim, melalui pengalaman mistis pribadi, menyadari adanya sifat hewaniah dalam kehidupan manusia dan mengembangkan gagasan tentang daya kekuatan pendorong dari nafs-hewani, yang tediri dari dorongan sensual dan dorongan kemarahan. Freud dan psikolog ego lainnya mendapat kesimpulan tersebut melalui pengalaman dalam menganalisis kehidupan personal mereka sendiri, juga melalui pengamatan yang sangat teliti dan hati-hati dari pasien psikoterapi. Selain itu mereka juga mengadakan pengamatan secara langsung dari perilaku bayi dan anak-anak. Mereka akhirnya berpendapat bahwa dalam diri manusia ada daya kekuatan binatang, dalam bentuk id, yang tersusun dari dorongan seksual dan dorongan agresif.

(2)Daya Kemampuan Persepsi (quwa-al-mudrika)

Daya kekuatan pendorong dan daya kemampuan persepsi (quwa-al-mudrika) keduanya merupakan bagian dari nafs-hewani. Kata “mudrika” berarti pemahaman, pengertian, dan ingatan. Istilah tersebut berhubungan dengan penginderaan luar (persepsi sensoris eksternal), kesadaran, dan juga pengindraan dalam (persepsi internal)[17]. Daya kekuatan persepsi menurut Ibnu Sina sebagaimana dikutip Mohammad Shafii, dibagi lagi menjadi dua tipe lagi[18] yaitu: (a)Kesadaran dan persepsi sensoris (b)Daya kekuatan alam bawah sadar

(a)Kesadaran dan Persepsi Sensoris (penginderaan)

Kesadaran dan persepsi sensoris disebut juga hawass-al-zahiri. Hawass berarti penginderaan sedang zahiri berarti dunia luar atau eksternal. Hawass-al-zahiri berarti persepsi sendoris dan kesadaran (conscious awareness). Persepsi sensoris termasuk taktil, rasa, penglihatan, pendengaran, dan persepsi visual. Dalam hal ini sebagian besar psikolog muslim berpendapat bahwa kesadaran manusia berasal dari persepsi sensoris. Sementara itu persepsi sensoris itu sendiri berhubungan dengan daya kekuatan pendorong dari nafs-hewani.

(b)Daya Kekuatan Alam Bawah Sadar

Daya kekuatan alam bawah sadar (quwa-al-batina) kata quwa berarti daya kekuatan, dan batina diturunkan dari kata batn yang berarti perut, rahim, bagian dalam, dan hati. Quwa-al-batina berarti sensasi internal, daya kekuatan internal, dan daerah bawah sadar dari pikiran. Imajinasi, ilusi, dan ingatan adalah perwujudan dari kekuatan internal ini. Berikut ini adalah komponen-komponen dari daya kekuatan alam bawah sadar, yaitu:

b.1. asosiasi (hiss-al-mushtarak).

Kata “hiss” berarti penginderaan; “mushtarak” berarti secara bersama-sama memberi hormat terhadap dua kekuasaan. Dalam psikologi, hiss-al-mushtarak berarti perbatasan atau batas antara kesadaran dan daya kekuatan bawah sadar. Walaupun asosiasi dipersepsi oleh psikolog muslim sebagai bagian dari daya kekuatan bawah sadar, mereka masih berpikir bahwa asosiasi sebagai bagian terdekat dari perasaan dan proses kesadaran. Paduan antara pikiran dan fantasi dalam persepsi sensoris adalah perwujudan ekspresi dari asosiasi.

Ibnu Sina, lebih lanjut menjelaskan bahwa semua stimulus, setelah diterima oleh tubuh, akan masuk pada area asosiasi dimana ingatan masa lalu dan pengalaman muncul kembali dan akan melekat pada persepsi sensoris (h. 168-169). Pengalaman yang menyenangkan dan menyakitkan berhubungan dengan proses ini. Baik manusia maupun binatang mempunyai kemampuan asosiasi ini. Ibnu Sina membedakan antara asosiasi dan kecerdasan, yang akan didiskusikan lebih lanjut.

b.2. Imajinasi (takhayyul)

Kata “takhayyul” berarti imajinasi, fantasi, angan-angan, dan bayangan. Persepsi sensoris berlangsung melalui asosiasi dan disimpan dalam bentuk fantasi-fantasi dan imajinasi-imajinasi dalam alam bawah sadar. Beberapa persepsi disimpan sebagai persepsi dan kadang-kadang diubah atau diputarbalikkan.

Alam bawah sadar mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan mengekspresikan fantasi-fantasi baru dan kesan-kesan. Sebagian besar dari ekspresi imajinasi dalam bentuk kesan dan persepsi visual. Kesan ini dapat berasal dari pengalaman internal dan eksternal. Daya kemampuan imajinasi menjadi lebih kuat ketika daya kemampuan intelek kurang berperan.

Menurut Ibnu Sina, imajinasi mempunyai hubungan langsung dengan perhatian. Perhatian pada kekuatan-kekuatan dan realitas eksternal ternyata menghambat individu terhadap kesadaran akan adanya daya kekuatan internal. Fantasi dan memori akan hilang untuk sementara waktu. Begitu juga ketika individu distimulasi oleh daya kemampuan penghinderaan, ekspresi dari dorongan kemarahan berkurang dan begitu juga sebaliknya.

Oleh karena itu, ketika individu tidak melalukan suatu tindakan, gerakan, atau aktivitas persepsi, maka imajinasi dan fantasi akan muncul. Yang menarik untuk dicatat adalah bahwa psikolog muslim kebanyakan menyadari bahwa pergerakan tubuh, persepsi sensoris, dan aktivitas berbicara, akan menghambat daya kemampuan fantasi dan imajinasi kreatif. Meraka mengamati bahwa melalui ketidak-bergerakkan, pembatasan dari gerakan tubuh, diam, dan meditasi, memungkinkan terjadinya pembukaan jalan menuju daya kemampuan yang tidak terbatas dari fantasi dan imajinasi kreatif.

Ibnu Sina membagi imajinasi menjadi dua tipe. Tipe pertama adalah imajinasi yang digunakan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari dan realitas eksternal. Pada tipe kedua, imajinasi menutupi rasio dan kecerdasan, yang selanjutnya terekspresikan dalam bentuk ketakutan irasional dan kecemasan yang berlebihan. Ketika hal ini terjadi, kekuatan dari imajinasi bertambah. Persepsi internal ini dan fantasi-fantasi ini tereksternalisasi dan seolah-olah tampak nyata. Ini terjadi pada individu yang menderita psikotik, phobia berat, atau orang yang menderita sakit fisik yang parah. Menurut Shafii, Fenomena ini sekarang dikenal sebagai halusinasi[19].

b.3.Ilusi dan Inspirasi (tawahhum)

Kata tawahhum berarti berpikir, menduga, dan mengira. Kata ini berasal dari kata wahm, yang berarti memutarbalikkan sebuah gagasan dalam jiwa seseorang atau memahami ide-ide yang salah, terutama yang berkenaan dengan pengalaman-pengalaman yang menimbulkan ketakutan yang berlebihan, menimbulkan stres, atau kecemasan. Secara umum, wahm berhubungan dengan penyimpangan persepsi sensoris, mirip dengan konsep ilusi dalam psikiatri dan psikologi Barat.

Menurut Ibnu Sina, pengaruh ilusi cukup dominan dalam kehidupan manusia maupun kehidupan binatang. Tapi dengan kemampuan berpikir dan kecerdasannya, manusia akan dapat mengatasi ilusinya, tetapi binatang tidak mampu melakukannya. Walaupun demikian, sebagian orang tidak mampu membebaskan dirinya dari ilusi, dan mereka menjadi tawanan dari kesalahan persepsi, fantasi, dan distorsi.

Psikolog muslim, sebagaimana ditulis Shafii, membagi ilusi menjadi beberapa tipe, yaitu:

1. Instinctual. Ini merupakan perilaku bawaan sejak lahir untuk bertahan hidup, seperti menghisap, memegang, dan mengedipkan mata. Perilaku ini mirip dengan pemahaman kita sekarang tentang refleks-refleks awal pembawaan sejak lahir.

2. Experiential. Ilusi ini mengacu pada pengalaman masa lalu individu, baik yang sifatnya menyenangkan atau menyakitkan. Kesenangan atau kesakitan dapat berhubungan dengan bentuk, bau, konsistensi, atau aspek-aspek lain dari stimulus tertentu. Manusia atau binatang, ketika dihadapkan pada suatu stimulus, akan tertarik atau tidak tertarik (menolak) pada stimulus itu tergantung pada pengalaman masa lalunya.

3. Associative. Ilusi-ilusi ini berasal dari ilusi instinctual atau experiential yang pada suatu waktu terekspresikan dalam wujud inspirasi baru atau daya kreatif.

Konsep wahm tidak mempunyai arti yang pasti seperti ilusi atau delusi. Ilusi atau delusi memiliki konotasi maladaptif dan patologis. Wahm menurut psikolog muslim mempunyai tiga tingkat arti: pada tingkat pertama adalah instingtual dan berfungsi adaptif untuk bertahan hidup, pada tingkat berikutnya, dapat menjadi patologis dan mengganggu, dan akhirnya, pada tingkat tertinggi, dapat menjadi sumber kreativitas dan inspirasi mistis.

b.4. Memori (tazakkur)

Tazakkur, berarti mengingat atau menyimpan dalam ingatan, berasal dari kata “zikr”, berarti ingatan. Menurut Ibnu Sina, memori adalah suatu hal yang khas dalam kehidupan manusia. Binatang mempunyai kemampuan untuk mengalami kembali persepsi sensoris, asosiasi, imajinasi, dan ilusi. Walupun begitu, binatang tidak mempunyai kemampuan kognitif untuk mengingat atau mengingat kembali pengalaman masa lalu. Ibnu Sina menyatakan bahwa kemampuan kognitif untuk mengingat ternyata berhubungan langsung dengan kemampuan menggunakan bahasa, yang merupakan fungsi kemanusiaan.

Ibnu Sina membedakan antara proses memori dan proses belajar. Memori adalah ketika ada situasi yang disimpan dalam pikiran dan kemudian dimunculkan kembali melalui daya kekuatan internal dan eksternal. Belajar adalah mengingat pengalaman masa lalu dan menerapkannya dalam situasi yang baru, sehingga hal yang tadinya asing menjadi suatu yang dikenal.

Menurut Shafii (1985), memori atau kemampuan untuk memunculkan kembali dan mengingat pengalaman terdahulu, adalah sebuah pedang bermata dua. Pada satu sisi dapat membantu mengingat pengetahuan, mengembangkan rasionalitas dan berpikir menggunakan kecerdasan. Tetapi disisi lain dapat merintangi integrasi kepribadian lebih jauh karena dapat menimbulkan kebanggaan terhadap diri sendiri yang berlebihan[20]. Ada bahaya ketika orang melihat diri sendiri sebagai makhluk yang benar-benar berbeda dan unik di antara semua makhluk yang ada di alam dan merasa diri sebagai penguasa di alam semesta. Terlalu memfokuskan diri secara berlebihan dengan pikiran yang rasional dan berpikir dengan menggunakan kecerdasan akan menimbulkan perasaan keterpisahan sebagai akibat dari adanya delusi dan keterasingan dari kehidupan manusia lain, keterasingan dengan alam, dan keterasingan dengan Tuhan.

PSIKOLOGI EGO

Kata “ego” berarti “aku” atau lebih umum disebut sebagai diri sendiri. Ego, dalam teori psikoanalitik, mengacu pada pengertian kemampuan berpikir dan bagian yang adaptif dari kepribadian. Freud (1923) menulis:

Ego melambangkan apa yang kita sebut pemikiran dan akal sehat, berlawanan dengan id, yang berisi nafsu… Sampai kini hubungannya dengan id seperti orang yang mengendalikan kuda, yang memegang kendali atas kuda tersebut; pengendara kuda berusaha mengendalikan kuda dengan kekuatannya sementara ego menggunakan kekuatannya yang dipinjamnya.[21]

Psikologi ego[22] adalah cabang ilmu psikologi yang mengkaji tentang perkembangan dan adaptasi mansuia dalam perspektif psikoanalitik. Pada awalnya, dalam teori psikoanalisis klasik, konflik dan pertentangan internal antara impuls-impuls dan harapan-harapan dari id dengan larangan dari orang tua, nilai-nilai sosial dan moral merupakan penyebab pokok dari perkembangan kepribadian dan gangguan psikopatologis. Trauma dan konflik dialami pada tingkat sadar, yang kemudian masuk melalui tingkat pra-sadar, dan sesudah itu ditekan dan disimpan dalam alam bawah sadar. Konseptualisasi jiwa manusia dan pembagiannya menjadi sistem kesadaran, pra-sadar, dan bawah sadar, merupakan ide utama pemikiran Freud sampai publikasi The Ego and The Id (1923), yang dikenal sebagai teori topografis dari psikoanalisis.

Penemuan Freud tentang alam bawah sadar sebagai faktor yang pengaruhnya sangat dominan pada jiwa manusia, merupakan sebuah tonggak penting dalam pemahaman tentang manusia. Namun teori topografis ini tidak cukup mampu untuk menjelaskan kecenderungan manusia pada gejala lalai, represi, dan terutama adaptasi yang sehat dengan dunia luar.

Pemikiran Freud tentang teori struktural dan perkembangan konsep id, ego, dan super ego ini mendorong munculnya aliran psikologi ego. Psikologi ego memperhatikan kemampuan manusia untuk beradaptasi pada dunia eksternal dan internal, tidak hanya selama berada dalam tekanan patologis, tetapi dalam kondisi sehat dan sedang mengalami pengalaman pertumbuhan pribadi. Lebih jauh lagi psikologi ego juga memasukkan pemikiran baru yang dipengaruhi oleh kemajuan ilmiah, terutama dalam ilmu perilaku. Misalnya hasil-hasil temuan dari psikologi perkembangan, psikologi kognitif, teori belajar, behaviorisme, ethologi, biologi, dan psikofisiologi.

Fungsi-fungsi Ego

Perlu diingat bahwa “Ego” adalah konsep yang abstrak, bukanlah sebuah realitas yang berdiri sendiri. Ego didefinisikan berdasarkan fungsinya. Pada umumnya, fungsi-fungsi ego dibagi menjadi beberapa hal sebagai berikut (gambar 1, bab 1):

1. Fungsi otomom (autonomous functions)

2. Mekanisme pertahanan (defense mechanisms)

3. Proses berpikir (thought processes)

Fungsi Otonom

Fungsi otonom ego[23] biasanya berupa kesadaran atau pra-kesadaran. Secara umum, fungsi berikut dianggap sebagai fungsi ego yaitu: fungsi sensoris-motoris, ekspresi emosi dasar, persepsi, afek, memori, belajar, kecerdasan, kemampuan kognitif, fungsi sintetis-integratif, dan bahasa.

Konsep ego dalam psikoanlisis, juga dibahas oleh sufi dalam daya kemampuan persepsi, dari nafs-hewani, yang dalam hal tertentu mempunyai kesetaraan dengan teori struktural dan juga setara dengan sistem kesadaran dan pra-kesadaran dalam teori topografis. Sistem kesadaran, adalah “…sebuah kesadaran tentang persepsi terhadap hal-hal yang datang dari dunia luar dan hal-hal yang datang dari dalam tubuh dan jiwa”.[24] Dalam teori psikoanalisis sistem kesadaran memiliki porsi yang sangat kecil dan jiwa manusia.

Sistem pra-kesadaran dalam psikoanalisis berarti “…ingatan-ingatan, ide-ide, dan kesan-kesan, serta simbol verbalnya. Juga merupakan kebiasaan-kebiasaan motorik, yang dapat mencapai kesadaran dengan cara memfokuskan perhatian”.[25]

Konsep asosiasi menurut psikolog muslim mempunyai kemiripan dengan konsep pra-kesadaran dalam psikoanalisis. Ingatan alam bawah sadar, fantasi, dan persepsi ditimbulkan kembali oleh peristiwa-peristiwa penginderaan (sensoris) atau pengalaman sehari-hari. Hal-hal tersebut melekat dengan pikiran-pikiran atau sensasi tubuh dalam bagian pra-kesadaran dan akhirnya sampai pada tingkat kesadaran.

Kesadaran dan persepsi sensoris menurut psikolog muslim dapat dibandingkan dengan konsep sistem kesadaran dan pra-kesadaran dalam teori topografi psikoanalisis. Meskipun demikian, kesadaran dan persepsi sensoris menurut psikolog muslim mempunyai wawasan yang lebih jauh dibadingkan sistem kesadaran dan pra-kesadaran dalam pesikoanalisis. Baru dalam perkembangan psikoanalisis selanjutnya persepsi sensoris dari penglihatan, pendengaran, pembauan, pencecapan dan sentuhan, dimasukkan dalam fungsi ego, disebut sebagai fungsi ego otonom.

Menurut psikolog muslim konsep kesadaran termasuk juga komponen persepsi sensoris. Sementara dalam teori psikoanalitik dan psikodinamik, sulit untuk menyatukan teori topografis dengan teori struktural, sehingga kesadaran masih dianggap terpisah dari persepsi sensoris. Oleh karena itu beberapa ahli psikoanalis mengusulkan untuk menghilangkan saja konsep kesadaran, pra-kesadaran, dan bawah sadar, dan menggabungkannya dalam teori id, ego, dan super ego. Tetapi dalam kenyataannya, konsep kesadaran, pra-kesadaran, dan bawah sadar mempunyai nilai aplikatif yang tinggi dalam praktek psikoanalisis dan psikoterapi. Para ahli Sufi sudah sejak awal beranggapan bahwa kesadaran tidak dapat dipisahkan dengan modalitas sensoris.

Mekanisme Pertahanan Diri

Pertahanan ini[26] berada pada bagian paling dasar dari alam bawah sadar dan membantu manusia dalam kondisi sehat maupun sakit. Mekanisme pertahanan diri dikelompokkan menjadi bagian-bagian sebagai berikut :[27]

1. Pertahanan Narsistik (Narcissistic Defenses)

a. Proyeksi: dimana persepsi seseorang terhadap dunia luar mengalami distorsi karena dia menganggap perasaan-perasaan yang ada di dalam dirinya sebagai perasaan milik orang lain.

b. Penolakan: yaitu ketika seseorang menolak untuk mengakui kenyataan yang tidak menyenangkan atau menganggap kenyataan tidak ada.

2. Pertahanan Kurang Matang (Immature Defenses)

a. Introyeksi-Identifikasi: yaitu proses internalisasi dari karakteristik orang lain baik yang disukai atau yang tidak disukai.

b. Regresi: yaitu proses kemabli pada tahap perkembangan sebelumnya untuk menghindari kecemasan atau bahaya.

c. Acting Out: yaitu ekspresi perilaku yang muncul langsung dari dorongan-dorongan bawah sadar tanpa ada kontrol dari kesadaran.

3. Pertahanan Neurotik (Neurotic Defenses)

a. Represi: yaitu melupakan ingatan, pengalaman, dan fantasi yang tidak diinginkan. Ini adalah salah satu mekanisme pertahanan diri yang banyak digunakan. Penggunaan represi yang berlebihan ini akan menimbulkan gangguan neurotik dan berbagai bentuk-bentuk psikopatologi yang lain.

b. Rasionalisasi: yaitu mencari pembenaran rasional terhadap perilaku, sikap, dan keyakinan-keyakinan yang kurang dapat diterima.

c. Displacement (Pemindahan): yaitu proses pemindahan perasaan, perilaku, dan keinginan instingtif dari seseorang kepada orang lain atau objek lainnya.

d. Intelektualisasi: yaitu menggunakan proses berpikir dan pemikiran yang berlebihan untuk mengontrol emosi dan dorongan impuls, bukannya merasakan keberadannya sebagai bagian dari diri.

e. Reaction Formation (Pembentukan Reaksi): yaitu ekspresi dari perasaan dan emosi yang tidak diinginkan ke dalam perilaku yang berlawanan.

f. Isolasi: yaitu pemisahan antara perasaan dan emosi dengan pikiran dan fantasi.

4. Pertahanan Matang (Mature Defenses)

a. Altruisme: yaitu ketika seseorang mendapatkan kepuasan batin dengan cara melayani orang lain.

b. Antisipasi: yaitu menilai kenyataan dan membuat rencana untuk masa depan.

c. Asketisme: yaitu meninggalkan kenikmatan-kenikmatan duniawiyah dan mendapatkan kesenangan spiritual.

d. Humor: yaitu ekspresi perasaan dan emosi secara terbuka tanpa perasaan ketidaknyamanan dan tanpa mengorbankan orang lain.

e. Sublimasi: yaitu mengganti keinginan dan dorongan implus dari tujuan yang kurang dapat diterima secara moral dan sosial pada tujuan yang lebih bernilai kemanusiaan dan sosial.

f. Supresi: yaitu usaha, baik secara sadar atau pra-sadar, untuk menunda perilaku atau dorongan impuls yang menimbulkan konflik.

Sufi tidak menggunakan kata “mekanisme pertahanan diri” untuk mendeskripsikan fungsi nafs-hewani dalam kehidupan manusia, karena mereka sangat menyadari menkanisme-mekanisme psikologis ini. Misalnya proses kelupaan, penyalahan pihak lain, distorsi terhadap realitas, kecenderungan menuruti keinginan dan dorongan impuls, kecenderungan kembali pada tahap perkembangan sebelumnya, altruisme, asketisme, humor, kontrol kesadaran akan keinginan dan dorongan yang kurang baik. Para ahli Sufi memberi penekanan pada pengendalian dorongan kekuatan nafs-hewani dalam kehidupan manusia. Juga menekankan ekspresi kreatif, dan integrasi kepribadian.

Alam Bawah Sadar Menurut psikolog muslim

Daya kekuatan bawah sadar pada nafs-hewani dalam psikologi Pendidikan Islam memainkan peran penting dalam perkembangan manusia. Asosiasi, imajinasi, ilusi, dan inspirasi, dan ingatan adalah beberapa komponen dari daya kekuatan alam bawah sadar. Pada tingkat yang lebih tinggi, kecerdasan dan perasaan (pengalaman afektif, emosional, dan spiritual) dari nafs-insani adalah komponen lain dalam daya kekuatan bawah sadar.

Konsep alam bawah sadar dan komponen utamanya yaitu: proses berpikir primer, akan ditinjau dan dibandingkan dengan daya kekuatan bawah sadar dalam psikologi Pendidikan Islam.

Alam Bawah Sadar dalam Psikoanalisis

Alam bawah sadar, dalam psikoanalisis dan psikologi ego, adalah merupakan bagian dari jiwa yang tidak disadari. Menurut psikoanalisis dan teori psikodinamik, komponen mental, harapan-harapan, dan dorongan-dorongan yang tidak diterima, mengancam atau menjijikkan menurut ukuran moral, etis, dan kecerdasan seseorang dimasukkan ke dalam alam bawah sadar.[28] Fantasi dan keinginan yang ditekan secara terus-menerus butuh untuk diungkapkan, yang dapat menimbulkan konflik intrapsikis dan kecemasan atau perasaan bersalah. Ketika mekanisme pertahanan diri represi gagal, simtom-simtom neurotis dan psikopatologis akan tampak dalam diri individu.

Komponen alam bawah sadar sifatnya tidak rasional dan diatur oleh kekuatan id, yaitu dorongan seksual dan agresi. Menurut teori psikoanalisis, memori, pengalaman sensoris dan perseptual, pikiran dan fantasi, sesudah diterima secara sadar, melewati proses represi dan disimpan dalam alam bawah sadar. Hal-hal tersebut benar untuk kejadian yang menyakitkan dan pengalaman yang traumatik.

Pengalaman-pengalaman persepsi dan proses berpikir disimpan dalam alam bawah sadar dalam bentuk proses primer dan memori. Proses primer diekspresikan dalam bentuk asosiasi bebas, fantasi, mimpi, angan-angan, ilusi, delusi, halusinasi, dan proses kreatif.

Proses primer dalam psikoanalisis adalah “…keinginan yang primitif dan tidak rasional, yang didominasi oleh emosi dan berhubungan dengan dorongan instingtif…”[29] Gambaran simbolik, terutama lambang visual adalah perwujudan dari proses primer. Perwujudan ini seringkali pra-verbal tak terungkap dengan kata-kata, sensoris-visual, dan mempunyai kualitas tanpa batas waktu, dan tanpa batas ruang. Proses primer ini tidak sesuai dengan logika sebab akibat, atau pemikiran deduktif, juga inklusif dan holistik daripada proses berpikir deduktif. Sebuah simbol dalam proses primer mempunyai banyak representasi dan arti. Mimpi, angan-angan, fantasi, dan ekspresi kreatif yang spontan dan visual mistis atau pengalaman auditori adalah perwujudan dari proses dasar. Proses primer ini adalah “bahasa” alam bawah sadar. Dalam kasus gangguan psikopatologis yang berat, dan dalam kasus ketergantungan alkohol dan obat-obat terlarang dan gangguan otak, proses primer ini dapat muncul berupa halusinasi, delusi, dan ilusi.

Alam bawah sadar muncul melalui bagian pra-kesadaran dalam bentuk asosiasi bebas, fantasi, dan angan-angan sebelum menjadi akhirnya mencapai kesadaran. Sistem pra-kesadaran mirip dengan batas dua negara, segala sesuatu yang berjalan dari “negara alam bawah sadar” menuju “negara kesadaran” akan melalui sistem pra-kesadaran dan sebaliknya.

Perkembangan konsep alam bawah sadar dan kekuatan dinamis dari libido atau insting seksual[30] merupakan kontribusi yang signifikan dari psikoanalisis dalam memahami jiwa manusia baik.

Proses asosiasi bebas sebagai metode, sangat ditekankan dalam psikoanalisis, untuk membawa kesadaran fantasi alam bawah sadar, harapan, dan pengalaman traumatik kearah kesadaran. Dasar pemikiran proses terapi ini adalah bahwa pasien akan memverbalisasikan segala pikiran, perasaan, ide, atau sensasi yang ada dalam pikirannya tanpa mengurangi atau menambahnya. Disini psikoanalis dan terapis, lebih banyak diam tapi aktif. Kadang-kdang memberikan pertanyaan yang sifatnya menggali, akan membantu pasien memunculkan kembali fantasi, harapan, dan ingatan masa lalu dari dalam alam bawah sadar menuju kesadaran. Kemudian, pasien, dengan bantuan analis, menguji ulang fantasi, harapan, dan ingatan yang menyimpang dengan harapan mereka yang sesuai dengan realita.

Pemikiran paling mendasar dalam psikoanalisis adlaah bahwa bagian yang gelap dan kekuatan yang jahat dalam alam bawah sadar akan menimbulkan kesengsaraan pada individu. Oleh karena itu kekuatan ini perlu selalu dalam kontrol kesadaran, realitistis, dan di bawah kekuatan bagian rasional dari jiwa, yaitu sistem kesadaran dan ego.

Konsep asosiasi dalam psikologi Pendidikan Islam mirip dengan sistem pra-kesadaran dalam psikoanalisis dan psikologi ego. Imajinasi, dengan menekankan pada representasi visual dan inspirasi-ilusi, mirip dengan konsep proses primer. Ahli Pendidikan Islam menekankan bahwa melalui pengalaman diam dalam meditasi dan mentransendensikan batas-batas pikiran dan bahasa, seseorang secara bertahap akan mencapai tingkat paling dalam dari daya kekuatan alam bawah sadar di bawah nafs-hewani.

Para ahli Pendidikan Islam merasa bahwa adalah sebuah ilusi ketika orang melihat kehidupan manusia sebagai sesuatu yang berbeda dan terpisah dari alam dan semesta. Distorsi terhadap nilai-nilai juga sebuah ilusi. Misalnya orang yang lebih tertarik dengan kesenangan terhadap pemilikan harta benda dan mengabaikan makna kehidupan itu sendiri adalah sebuah ilusi. Menyimpan, memiliki, memecah, dan merusak berhubungan dengan persepsi ilusi. Selama kita dibutakan oleh ilusi, kita hanya akan mengalami sebagian dari realitas, tidak seluruhnya.

Salah satu tugas besar dari Sufi adalah untuk membebaskan diri dari ilusi. Di sini, psikoanalisis, psikoterapi dinamis, dan ajaran Pendidikan Islam lagi-lagi berada pada garis yang sama. Dalam psikoterapi, melalui proses asosiasi bebas dan mengalami kembali trauma masa lalu, seseorang secara bertahap akan mampu membebaskan diri ilusi-ilusi dan distorsi-distorsi. Kajadian masa lalu, pengalaman saat ini, dan kemungkinan kejadian masa depan kemudian dapat dilihat dalam perspektif yang lebih realistis. Ahli Pendidikan Islam mengikuti cara yang sama untuk mencapai tujuan mereka. Ahli Pendidikan Islam mengatasi suatu masalah melalui meditasi dan menekankan pengalaman internal dan perbuatan nyata ketimbang hanya kata-kata.

Ahli Pendidikan Islam membangun sebuah teknik untuk membuka batas alam bawah sadar melalui proses meditasi, yaitu berusaha memberhentikan sementara proses berpikir rasional dan memperhatikan sungguh-sungguh sensasi dari dalam diri. Bagian yang paling mengesankan dari psikologi Pendidikan Islam adalah bahwa menurut ahli Sufi, alam bawah sadar bukanlah suatu abstrak psikologis, tetapi kenyataan konkrit. Alam bawah sadar ini berasal dari isi perut, organ dalam, dan hati, yang memiliki dasar fisiologis. Fungsi otonom dan vegetatif dari sistem syaraf adalah bagian dari alam bawah sadar.

Konsep alam bawah sadar dalam psikonalisis sedikit terganggu oleh keterbatasan teori topografis. Teori psikonalitik kurang memperhatikan peran organ dalam, aspek otonom dan vegetatif dari sistem pusat syarat sebagai penghalang perkembangan fantasi alam bawah sadar, persepsi, dan proses berpikir.

Perbedaan lain antara psikolog muslim dan psikoanalisis adalah bahwa ahli Sufi mempercayai bahwa binatang juga dianugerahi persepsi pra-kesadaran dan alam bawah sadar. Ahli Sufi lebih jauh menguraikan konsep tentang alam bawah sadar sebagai daya kemampuan yang mempersatukan kehidupan manusia dengan binatang, tumbuhan, dan benda-benda yang ada alam. Para Sufi, juga melihat alam bawah sadar sebagai sebuah kekuatan integratif yang menyatukan kehidupan manusia dengan Kenyataan Universal, Kesadaran Kosmik, atau Tuhan.

Ketidak-Sadaran Kolektif

Konsep ketidaksadaran kolektif Jung[31], melampaui konsep Freud[32] tentang alam bawah sadar. Menurut Jung (1940), ketidaksadaran kolektif adalah kumpulan kehidupan fisik nenek moyang kita.

Kehidupan psikis ini adalah jiwa dari nenek moyang kita…Sebagaimana badan adalah pusat dari peninggalan filogenetik sejarah. Demikian juga dengan jiwa. Tidak ada alasan untuk percaya bahwa jiwa, dengan struktur khasnya, adalah satu-satunya hal yang tidak mempunyai sejarah di luar perwujudan individual…hanya kesadaran ego individual saja yang mempunyai awal dan akhir yang lebih awal. Tetapi jiwa alam bawah sadar tidak hanya sangat kuno, tetapi juga dapat terus-menerus berkembang ke masa depan.[33]

Konsep daya kekuatan alam bawah sadar menurut psikolog muslim mencakup alam bawah sadar dalam psikoanalisis, tetapi juga konsep Jung tentang ketidaksadaran kolektif, yang melampaui pengalaman manusia – saat ini, masa lalu, atau masa depan. Daya kekuatan alam bawah sadar menurut psikolog muslim mencakup dimensi hewan, tumbuhan, dan anorganik pada diri manusia. Selain itu juga merupakan bagian dari dimensi kemanusiaan, dimensi spiritual, dan universal.

Para ahli Sufi percaya bahwa kesadaran adalah seperti sebuah cangkir dan ketidaksadaran adalah seperti sebuah lautan. Bagaimana seluruh isi lautan ditempatkan dalam sebuah cangkir? Masing-masing individu seperti sebuah cangkir, dan semua manusia dan segenap alam secara keseluruhan adalah lautan, yaitu kenyataan alam bawah sadar, atau Tuhan. Seorang individu dengan menghilangkan batas gelas dan membebaskan diri sendiri, dapat menyatukan diri dengan keberadaan lautan. Kemudian, manusia dapat menjadi satu dengan seluruh aspek kehidupan dan menghilangkan kecemasan keterpisahan, kesendirian, dan keterasingan. Para Sufi percaya bahwa ketika setetes air mengalir ke lautan, walaupun jika dilihat dari luar seakan tetesan itu kehilangan identitasnya tetapi ia mendapatkan keuntungan dari keabadaian lautan.

Alam Bawah Sadar Sebelum Freud

Penemuan alam bawah sadar sebenarnya bukan dimulai oleh Freud atau psikoanalis, walupun Freud dan psikoanalis sesudahnya menggunakannya secara efektif untuk tujuan terapeutik dan untuk menciptakan sistem teoritis yang cermat.

Lancelot L. Whyte (1960), dalam buku ilmiahnya, The Unconscious Before Freud, memuji Shakespeare, Leibniz, Geothe, Schopenhauer, Von Hartmann, dan Nietzsche dengan penemuan tentang alam bawah sadar di Barat. Ia menyatakan:

Penemuan tentang alam bawah sadar oleh orang yang telah memiliki kesadaran diri, telah terjadi kira-kira mulai dari tahun 1700 sampai 1900…ide proses mental alam bawah sadar, dalam beberapa aspeknya, sudah dipikirkan sekitar tahun 1700, dijadikan topik kajian sekitar 1800, dan menjadi konsep efektif sekitar 1900. Kita perlu berterima kasih pada usaha-usaha imajinatif dari banyak individu di berbagai bidang di banyak negara.[34]

Menurut Whyte, bahkan “…Descartes sendiri tidak dapat menghindari – bahwa fakta-fata realitas tidak memberikan dukungan bahwa kesadaran itu adalah sesuatu yang berdiri sendiri.[35] Banyak faktor kekuatan yang mengarahkan perkembangan pada perumusan konsep alam bawah sadar di Barat. Pertama, mulai dari abad 11, ilmuwan di Barat menunjukkan minat yang besar terhadap pengalaman religius pribadi dan pengalaman-pengalaman individual. Puncak dari aktivitas ini tampak pada hasil karya Goethe dan Schelling, dengan ide mereka tentang kemanusiaan yang romantik dan transendental. Juga munculnya gerakan Naturphilosophie (monisme pantheistik) di Jerman kira-kira tahun 1790 sampai akhir 1830. Gerakan Naturephilosophie, yang waktu itu merupakan satu gerakan penting di kalangan cendekiawan di Eropa Barat. Mereka menaruh perhatian besar terhadap pemikiran-pemikiran dan tradisi dari Timur.[36] Selama waktu itu, dengan adanya kolonialisasi Barat ke Asia Tengah dan Asia, dunia Timur ditemukan kembali oleh orang Barat seperti yang terjadi selama Perang Salib di abad ke sebelas dan dua belas. Sejumlah buku tentang perjalanan ke Timur, terutama Persia, Mesir, India, dan China, dipublikasikan di waktu itu dan menjadi bacaan yang populer.

Pada waktu yang sama, bersamaan dengan kemenangan Napoleon di Mesir, sejumlah sajak Sufi klasik dari Persia dan Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Prancis, dan Inggris. Salah satu dari buku-buku tersebut berupa terjemahan dari buku Hafiz tentang puisi yagn berjudul Divan-i-Hafiz. Hafiz adalah penyair Sufi dari Persia yang hidup di abad ke empat belas.

Goethe secara tidak sengaja menemukan terjemahan bahasa Jerman dari buku Hafiz ini. Hatinya tergerak dan terinspirasi oleh karya-karya Hafiz, sehingga dia mengisolasi dirinya sendiri dari publik untuk jangka waktu tertentu, menghayati setiap bait sajak itu, dan akhirnya menulis buku yang terkenal, Western-Eastern Divan, di tahun 1819. Ia mendedikasikan buku ini untuk Hafiz dari Shiraz. Pahlawan pria dan wanita di buku romantis yang berisi puisi memakai nama Persia dan banyak adegan diceritakan terjadi di alam Persia seperti yang dibayangkan oleh Goethe. Orang menduga bahwa dengan banyak membaca pemikiran-pemikiran dan ide-ide Sufisme, kemungkinan besar dapat membangkitkan dorongan kreatif dalam diri Goethe dan memberi sumbangan untuk penyelesaian bagian kedua dari karya besar-nya, Faust, di akhir tahun 1820-an.

Menurut Ernest Jones (1953), Freud adalah pembaca fanatik dari karya-karya Goethe., sebagai mahasiswa muda fakultas kedokteran, juga tertarik pada hal-hal mistik dan aspek spekulatif dari Naturephilosophie, Begitu juga, kita mengetahui bahwa Freud memenangkan penghargaan utama bidang sastra karena minat ilmiahnya dan sumbangannya untuk studi Goethe. Oleh karena itu bisa diduga bahwa penemuan alam bawah sadar oleh Freud tidak hanya berakar dalam tradisi mistis Yahudi, tapi juga dalam romantisme Jerman dan gerakan mistikal di abad ke-18 dan awal abad ke-19, terutama karya Goethe. Sementara Goethe sendiri banyak mendalami pemikiran dan ide-ide Sufisme.

Daya kekuatan alam bawah sadar dalam ajaran Sufi mempunyai persamaan pada konsep alam bawah sadar dalam psikoanalisis. Keduanya tersusun dari asosiasi masa lalu, fantasi-fantasi, imajinasi, ilusi, inspirasi, dan memori. Daya kekuatan alam bawah sadar adalah bagian dari nafs-hewani dan menerima energi dari dorongan sensual dan kemarahan. Yang menarik, menurut para Sufi, binatang, seperti juga manusia, juga dianugerahi dengan dorongan alam bawah sadar. Para Sufi percaya bahwa binatang juga mempunyai kemampuan untuk bermimpi dan berangan-angan, sama seperti manusia, walaupun binatang tidak mampu memverbalisasikannya. Baru 20 tahun terakhir ini para ilmuwan berhasil mendokumentasikan bahwa binatang juga bermimpi. Hal ini ditunjukkan pada hasil rekaman gelombang otak dan munculnya gerak mata yang cepat ketika seekor binatang tidur.

Ide-ide Sufi tentang alam bahwa sadar lebih komprehensif daripada konsep Freud tentang alam bawah sadar. Konseptualisasi Sufi tentang alam bawah sadar tersusun tidak hanya dari fantasi, mimpi, ilusi, dan dari proses berpikir primer, tetapi juga hubungan organik dan psikospiritual antara kehidupan manusia, alam dan Realitas Universal (Al-Haqq).

NAFS-INSANI

Ibnu Sina (di abad 11 M), merinci karakteristik spesifik kehidupan manusia yang membedakannya dengan binatang. Ciri-ciri kehidupan manusia adalah sebagai berikut :

1. Manusia adalah makhluk sosial

2. Mempunyai keinginan merubah hasil alam untuk mempertahankan hidup; misalnya, mereka menggunakan kulit binatang atau tanaman karet untuk pakaian agar terlindung dari cuaca.

3. Bisa membuat peralatan.

4. Mampu untuk melihat fenomena alam dan menggunakan informasi untuk bertahan hidup; misalnya, mereka menggunakan pengetahuan tentang perubahan musim untuk bercocok tanam.

5. Mampu menggunakan simbol dan sinyal untuk komunikasi verbal dan non-verbal.

6. Mampu merasakan bahagia dan sedih.

7. Mempunyai rasa malu.

8. Mampu membedakan antara baik dan buruk, cantik dan buruk rupa, dan antara benar dan salah.

9. Memiliki sistem kepercayaan dan agama.

10. Mempunyai kemampuan kecerdasan dan berpikir, khususnya kemampuan untuk melihat sesuatu sebagai suatu bagian dari keseluruhan yang lebih luas[37].

Menurut Ibnu Sina dan para Sufi, komponen utama dari nafs-insani adalah kecerdasan (aql) dan hati (qolb), yang lebih jelasnya adalah sebagai berikut:

Kercerdasan (‘Aql)

Dalam bahasa Persia dan Arab, kata ‘aql berarti membatasi, mengikat, kaki unta, berdiri tegak di karang yang tinggi, dan menyelidiki. ‘Aql secara khusus berarti kecerdasan, menalar, membedakan, dan jiwa itu sendiri. Hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa dengan mimilih kata ‘aql, tiga fungsi besar dari kecerdasan yaitu inhibition (pengekangan, kontrol) recognition (pengenalan) dan reasoning (penalaran) dapat tercakup secara bersamaan :

1. ‘Aql, walaupun secara literatur berarti mengikat kaki binatang di sini berarti mengendalikan dorongan jiwa untuk mengekang insting binatang dan keinginan-keinginan di dalamnya.

2. Makna lain ‘aql adalah berdiri tegak. Salah satu perbedaan besar antara manusia dan primata adalah kemampuan untuk berdiri tegak, menggerakkan tangan untuk membuat alat dan menggunakan alat. Sebagaimana kita ketahui, nenek moyang Homo Sapiens dikenal sebagai Homo Errectus. Pemilihan kata ‘aql oleh para Sufi, baik secara sengaja atau tidak, menunjukkan adanya kualitas manusia dalam masalah ini.

3. Arti paling umum dari ‘aql adalah berpikir dan menalar.

Macam-macam Kecerdasan

Menurut Ibnu Sina[38] kemampuan kecerdasan, menalar, dan penemuan makna dari suatu objek atau tindakan adalah kualitas khusus dari kehidupan manusia. Ibnu Sina percaya bahwa ada dua tipe kecerdasan:

1. Kecerdasan Praktikal (‘aql-al-amila) atau kecerdasan kerja. Tipe kecerdasan ini berhubungan dengan aspek-aspek praktikal dalam kehidupan sehari-hari. Fungsinya adalah sebagai berikut: memisahkan, menganalisis, memperhatikan dengan rinci, membedakan, dan berpikir deduktif. Kecerdasan praktikal membantu individu dalam menilai kenyataan sehari-hari dan berjuang untuk mempertahankan hidup.

2. Kecerdasan Abstrak dan Universal (‘aql-al-alima). Tipe kecerdasan ini berarti kemampuan pikiran dalam hal teoritis dan abstrak. Fungsinya mencakup kemampuan untuk mempersepsikan keseluruhan atau suatu keutuhan, kemampuan berpikir induktif, kecerdasan psikologis dan filosofis (misalnya merenung, merefleksi (-pen), aspirasi religius, dan nilai-nilai keindahan. Pada tingkat yang lebih tinggi, ekspresi kreatif dari jiwa manusia dalam lingkup industri, seni, dan arsitektur, penemuan ilmiah, dan terutama spiritual, dan ekspresi mistikal adalah bentuk dari kecerdasan abstrak.

Ibnu Sina juga mengemukakan konsep Kecerdasan Universal, yaitu merupakan suatu realitas dengan eksistensinya sendiri, yang terpisah dengan tubuh dan jiwa manusia. Sebagian besar manusia mempunyai potensi untuk mendapat inspirasi dari Kecerdasan Universal ini, sehingga mampu mentransendensikan realita konkret dan dualitas dalam kehiduan sehari-hari. Kecerdasan Universal adalah eksistensi yang meliputi keseluruhan, inklusif, dan holistik.

Konsep kecerdasan praktikal dan abstrak sejajar dengan proses berpikir sekunder yang merupakan tingkat tertinggi dari fungsi ego dalam psikologi ego. Proses berpikir sekunder tersusun dari kecerdasan sensorik-motorik, fungsi ego otonom, mekanisme pertahanan diri, dan proses berpikir primer.

Penilaian terhadap realitas (reality testing), menalar, rasionalitas, dan deduksi logika dari proses berpikir sekunder mirip dengan kecerdasan praktikal menurut psikolog muslim. Kemampuan konseptualisasi dan abstraksi sebagai tingkat tertinggi dari proses berpikir sekunder menurut psikologi perkembangan Jean Piaget dan psikologi ego, mirip dengan konsep kecerdasan abstrak menurut psikolog muslim. Tetapi psikologi ego tidak membicarakan konsep Kecerdasan Universal.

Hati (Qolb, Dil)

Seringkali para Sufi mengartikan tingkat tertinggi dari alam bawah sadar sebagai qolb dalam bahasa Arab dan dalam bahasa Persia disebut dil. Kedua istilah ini berarti hati, jiwa, dan ruh. Sebagaimana yang digunakan oleh para Sufi, qolb ini berarti pusat alam bawah sadar (batin). Ini adalah bagian dari alam bawah yang menghubungkan kehidupan manusia dengan Realitas Universal.

Para Sufi menganggap bahwa seluruh perkembangan kecerdasan manusia merupakan suatu langkah menuju pengalaman dan pengetahuan. Pengetahuan ini bukan sekedar kecerdasan, rasionalitas, atau pemahaman, tetapi melebihi semua itu. Ini adalah pengetahuan hati, atau qolb, yang membebaskan jiwa dan badan dari dualitas. Para Sufi percaya bahwa qolb adalah suatu hal yang penting sekali bagi seorang “pencari kebenaran” atau “pencari pengetahuan”[39] untuk memahami dan menyadari semua tingkat-tingkat nafs yang ada di dalam dirinya. Tujuannya adalah untuk mentransendensikan “diri yang sementara” (temporal self) dan juga “pengetahuan yang sementara” (temporal knowledge).

Al-Ghazali, yang hidup kira-kira 820 tahun lalu. Ia menyatukan ajaran agama, konsep filosofi, dan gagasan Sufi dengan cara sintesa yang kreatif. Dia sendiri, setelah menghabiskan beberapa tahun sebagai seorang ahli teologi, ilmuwan, dan filsuf, menjadi sadar bahwa semua pengetahuan yang selama itu dimiliki adalah pengetahuan yang selama itu dimiliki adalah pengetahuan lahiriah. Ia menyadari bahwa pengetahuan yang sesungguhnya didapat melalui pengalaman psikomistis pribadi yang melampaui batas kata-kata buku-buku.

Suatu hari al-Ghazali melakukan perjalanan melalui gurun pasir dari seuatu kota di propinsi Khorasan menuju kota lain. Sebagaimana kebiasaan waktu itu, ia bepergian dengan karavan. Seluruh buku tulisan, dan karya ilmiahnya dalam bidang filsafat dan teologi dikerjakan di atas keledai. Tiba-tiba karavannya diserang segerombolan perampok. Perampok-perampok tersebut mengambil semua barang. Termasuk keledai dan semua buku muatannya. Ghazali menjadi terkejut dan menjadi panik. Ia mendatangi pimpinan perampok dan menanyakan apakah kepala perampok itu bisa membaca atau menulis. Pimpinan bandit itu ternyata adalah seorang pemuda. Ketika melihat al-Ghazali dalam keadaan tertekan dan kebingungan, ia menjawab, “Tidak, aku tidak bisa membaca ataupun

menulis”. Al-Ghazali kemudian meminta, “Ambilah semua barangku, semua yang aku punya, kecuali buku itu dan naskahku. Aku mengabdikan seluruh hidupku untuk mengumpulkan semua ini. Tidak ada gunanya untuk kamu”. Perampok muda tersebut diam sejenak dan kemudian berkata, “Pak Tua, kamu mengaku sebagai seorang yang terpelajar dan berpendidikan. Pelajaran macam apa yang dapat diambil perampok buta huruf darimu?”

Pertemuan ini menggugah al-Ghazali ke asal keberadaan dirinya dan awal kesadarannya – tahap awal bagi langkah para Sufi untuk mencapai integrasi. Ia kemudian memutuskan untuk berhenti mempelajari pengetahuan lahiriah dan mulai perjalanannya melewati Jalan Sufi. Setelah bertahun-tahun melakukan meditasi dan menjalani kehidupan Sufi, al-Ghazali kemudian mulai menulis kembali. Bedanya sekarang ia mengintegrasikan filosofi dan teologi dengan pengalaman (rohani) dari meditasi Sufi.

Al-Ghazali memulai dengan buku Kimia Kebahagiaan (Alchemy of Happiness), yang ditulis di abad ke dua belas, dengan suatu ungkapan populernya, “Siapa yang mengetahui diri (nafs)-nya, maka ia mengetahui Tuhannya”. Menurut al-Ghazali :

Tidak ada yang lebih dekat denganmu kecuali dirimu sendiri; jika kamu tidak mengerti dirimu, bagaimana kamu dapat mengerti orang lain? Kamu mungkin mengatakan, “Aku mengerti diriku,” tetapi kamu salah! …Hal yang hanya kamu ketahui tentang dirimu adalah penampilan fisikmu. Hal yang kamu ketahui tentang batin-mu hanyalah ketika kamu lapar lalu kamu makan, ketika kamu marah kamu bertengkar dan ketika kamu bernafsu kamu bercinta. Semua bianatang sederajat denganmu dalam keadaan ini. Kamu harus menemukan kebenaran dalam dirimu…Apa dan siapakah kamu? Darimana kamu datang dan kemana kamu akan pergi? Apa peranmu dalam dunia ini? Mengapa kamu diciptakan? Dimanakah letak kebahagiaanmu? Jika kamu ingin mengetahui dirimu, kamu harus mengetahui bahwa kamu tersusun dari dua hal. Pertama adalah badan dan penampilan luar (lahiriah) yang dapat kamu lihat dengan mata. Lainnya adalah kekuatan alam bawah sadar (batin, qolb). Ini adalah bagian yang tidak dapat dilihat dengan mata tetapi dapat diketahui melalui pengertian. Keberadaanmu yang sesungguhnya adalah dalam batin (qolb)-mu. Segala sesuatu adalah pelayan bagi batin atau qolb-mu.[40]

Ketika memaparkan hati (qolb) Ghazali menggunakan metafora berikut:

…Tubuh seperti sebuah negara. Para kekerja adalah tangan, kaki, dan bagian lain dari tubuh. Nafsu seperti penarik pajak. Kemurkaan atau kemarahan seperti polisi. Qolb (hati) adalah raja. Kecerdasan seperti menteri. Nafsu, seperti penarik pajak mempunyai banyak arti, yaitu berusaha untuk memaksakan segala sesuatu. Kemurkaan dan kemarahan kejam, kasar, dan menghukum seperti polisi dan ingin merusak atau membunuh. Raja tidak hanya mengontrol nafsu dan kemarahan, tetapi juga kecerdasan dan harus menjaga keseimbangan antara semua kekuatan ini. Kalau kecerdasan dikalahkan oleh nafsu dan kemarahan, negera akan mengalami kejatuhan dan raja akan diruntuhkan.[41]

Satu cara agar seseorang dapat mengatur kekuatan yang saling berlawanan ini adalah dengan mangamati perbuatan, perilaku, pemikiran, dan perasaannya sendiri.

Al-Ghazali merinci lagi lebih jauh:

Jika kamu mengikuti ajakan nafsu babi kamu akan menjadi orang yang tidak tahun malu, rakus, tidak mau dikritik, memecah belah, iri, dan pendendam. Jika kamu mengabaikan nafsumu dan mengaturnya dengan kecerdasan dan pemikiran, kamu akan puas, tenang, damai, peduli, dan dapat mengendalikan dirimu sendiri. Kamu akan menjadi murah hati dan jauh dari ketamakan.

Jika kamu mengikuti kemarahan anjing, kamu akan menjadi sangat angkuh, tidak punya rasa takut, jahat, pembohong, mementingkan diri sendiri, dan mencaci maki orang lain. Jika kamu mengendalikan kemarahan ini, kamu akan menjadi sabar, toleran, tabah, memaafkan, berani, tenang, dan murah hati.

Setan dalam dirimu terus-menerus menghasut babi dan anjing ini. Jika kamu mengikuti ajakan setan kamu akan menjadi penipu dan pengkhianat. Jika kamu mengendalikan dorongan-dorongan ini dan menggabungkan pemikiran dan kecerdasan, kamu akan menjadi cerdas, berilmu pengetahuan, berpikiran psikologis, dan peduli dengan orang lain. Ini adalah resep dari kepemimpinan. Bibit kebahagiaan tumbuh dalam dirimu…

Hati seperti cermin yang bersinar. Perbuatan-perbuatan buruk seperti asap yang akan menutupi kaca. Kemudian kamu tidak mampu melihat kebenaran dirimu. Kamu akan diselimuti dari pandangan Realitas Universal atau Tuhan.[42]

Hati adalah pusat dari alam bawah sadar. Ini adalah dorongan pemersatu yang mengendalikan nafs-hewani dari dalam dan mengarahkan energi-energi badan dan jiwa ke arah jalan ilmu di luar kecerdasan intelektual dan ilmu pengetahuan lahiriah. Hati seperti katalisator (penghubung) antara emosi, efek, dan proses berpikir, nilai-nilai religius, dan di atas itu semuanya, pendorong kehidupan manusia secara terus-menerus menuju hubungan erat antara seluruh makhluk. Hati adalah sungai yang membawa jiwa yang gelisah ke arah Lautan Realitas yang sangat luas (Haqq).

Kecerdasan Universal mirip dengan konsep hati (qolb) dari al-Ghazali dan para Sufi lain. Ibnu Sina Mengkonsepkan keberadaan Kecerdasan Universal dari pandangan medis, psikologis, dan filosofis. Ia mencoba untuk menyatukan filosofi Aristoteles dengan teologi Islam dan terutama dengan Sufisme. Hati (qolb) dalam Sufisme melampaui kecerdasan, terutama kecerdasan praktikal dan rasional yang dibatasi oleh logika berpikir Aristoteles dan penalaran. Konsep hati dalam ajaran Sufi dan Kecerdasan Universal dari Ibnu Sina, keduanya mentransendensikan keberadaan individual dan mempunyai kualitas universal dan sifatnya trans-kesadaran. Perwujudan fenomena semua eksistensi (makhluk) berawal dan berakhir dengan Hati dan Kecerdasan Universal. Hati dan Kecerdasan Universal adalah ekspresi dari pusat alam bawah sadar, batin, dan energi kreatif dalam kehidupan pengembara[43].

Apa yang dianggap sebagai keajaiban atau magic pada zaman dahulu, sekarang telah menjadi ilmu pengetahuan. Misalnya, dahulu hanya orang-orang tertentu saja yang dapat berbicara dalam jarak jauh melalui kemampuan telepati, tetapi sekarang dengan semua orang dapat menikmati percakapan jarak jauh. Hal ini tampaknya juga akan berlaku dengan mistisisme (mysticism). Apa yang sekarang dianggap sebagai “mistisisme”, tidak mustahil di kemudian hari akan menjadi sebuah teori psikologi yang diakui validitasnya.

Kata “mistisisme” sering disalah-artikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan yang terselubung, tersembunyi, spekulasi yang samar-samar, atau hal-hal yang tidak rasional. Pada hakekatnya, mistisisme adalah pengalaman seseorang berhubungan langsung secara totalitas dengan alam (nature) dan dengan Tuhan (Realitas, Kebenaran). Esensi dari mistisisme adalah kesatupaduan antara manusia, alam dan Tuhan. Mistisisme ini adalah pengalaman kesatuan (oneness) dari segala eksistensi di dalam keanekaragaman bentuk.

Untuk mencapai pengalaman tersebut, pada setiap budaya memiliki suatu tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun sebagai suatu metode pembelajaran dan pelatihan. Jika kita melihat tradisi-tradisi mistik ini sebagai proses pengalaman dan penemuan misteri dalam diri manusia dan alam semesta, terbatas sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan dari mistisisme.

Dalam kehidupan manusia, pengalaman mistis diekspresikan dalam tradisi yang bermacam-macam, misalnya monoteisme di kalangan orang-orang Mesir, agama Yahudi, Zoroastrianisme, Yoga, Budhisme, Mistisisme Kristiani, dan tradisi Sufi (Mistisisme Islami).

Sufisme sebagai sebuah tradisi mistis yang sangat dominan dalam masyarakat Timur, khususnya Islam, dapat memberikan wacana yang sangat kaya dalam psikologi. Dalam buku ini, penulis akan menggali lebih dalam tentang Sufisme (Tasawuf), sebagai sebuah dimensi spiritual dan psikologis dari perkembangan manusia dalam Islam. Di sini penulis akan memfokuskan pada konsep Sufisme tentang evolusi, perkembangan, dan integrasi manusia secara holistik.

Berabad-abad yang lalu, para Sufi sudah menulis dengan lengkap tentang struktur kepribadian dasar manusia. Yang sangat menarik, ternyata hasil pemikiran ini memiliki persamaan yang kuat dengan teori psikoanalisis dan psikologi ego. Perbandingan ini tidak hanya memiliki nilai historis, tetapi juga memungkinkan kita untuk menemukan aspek-aspek yang signifikan dalam perkembangan kepribadian dan integrasi kepribadian, di luar batas bahasa, waktu, dan budaya.

Dalam menggali konsep-konsep psikologis dalam tradisi Sufi, kita harus ingat bahwa ahli-ahli Sufi beranggapan bahwa jika seseorang mengikuti sebuah sistem yang tertutup, yang tidka memberikan kemungkinan terhadap pandangan baru, maka akan dapat membatasi persepsi dan menimbulkan distorsi terhadap realitas. Intinya adalah bahwa tradisi pemikiran Sufi, walaupun mempunyai struktur dan konsistensi yang jelas, tetapi merupakan sebuah sistem yang terbuka. Sistem ini dapat menerima, mencerna, dan memadukan hal-hal yang relevan, baik dari ilmu pengetahuan, dari agama lain, hasil karya kreatif, dan ide-ide artistik dari waktu ke waktu.

PENUTUP

Psikolog muslim percaya bahwa manusia mengalami proses evolusi[44], dari bentuk satu ke bentuk lain: materi anorganik, organik, vegetatif, binatang, manusia, spiritual, dan akhirnya mencapai Makhluk Universal. Dengan demikian evolusi kemanusiaan tidak hanya berakhir sampai pada bentuk manusia saat ini saja. Ada potensi untuk menjadi makhluk yang lebih tinggi. Perspektif yang progresif dan memberikan banyak harapan ini adalah sebuah kekuatan dinamis dalam proses perjalanan jiwa kearah integrasi kepribadian dan kesatuan eksistensial. Psikolog muslim kebanyakan sepakat bahwa, seseorang memiliki kesadaran akan keadaan masa lalu, pengalaman hidup terdahulu, tingkat perkembangan kepribadian, dan hubungan dengan alam semesta. Dengan melihat bahwa diri seseorang berada di alam semesta, dan menjadi bagian dari keseluruhan alam semesta, maka akan dapat membantu menghilangkan keterpecahan di dalam diri, rasa terasing dari orang lain, dan rasa keterpisahan dari alam, demikianlah dinamika pengembaraan jiwa disisi alam semesta, manusia dan Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Anna Freud (1936) dalam The Ego and the Mechanisms of Defense,

Freud, S. 1923. The ego and the id. Standard ed.,

Ibnu Sina al-Shifa’ (The Book of Healing) tt.

Ibnu Sina, Syeikh Husain Ibn Abdullah, Syifa’ Ibn Sina Publising Company. 1352 Shah, I. 1964. The Sufis. Garden City, N.Y.: Doubleday. h.394.

Jung, C. 1940. The Integration of the Personality. London : Lowe & Brydone. Whyte, L.L. 1962. The Unconscious before Freud. Garden City, N.Y. : Doubleday. Al-Ghazali, (w1111M-1352H) Kimiya al-Sada. Tt,

Meissner, W.W., Mack, J.E., & Semrad, E.V. 1975. Theories of personality and psychopathology : I. Freudian school. In A.M. Freedman, H.I. Kaplan, & B.J. Sadock, (Eds.), Comprehensive textbook of psychiatry (II). (2nd ed.). Baltimore : Williams & Wilkins.

Moore, B.E., & Fine, B.D. (Eds.). 1968. Aglossary of psychoanalytic terms and concepts. (2nd ed.) New York : American Psychoanalytic Association.

Morewedge, P. 1973. The metaphysica of Avicenna (ibn Sina). A critical translation-commentary and analysis of the fundamental arguments in Avicenna’s Metaphysica in the Danish Nama-I-ala’i (The Book of Scientific Knowledge). New York : Columbia University Press.

Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-mu’jam al-munfahras li alfazil-Qur’an, , al-nafs dan juga indek terjemah al-Qur’an Karim karya Drs. Hamid Hasan Qolam. 2000.

Muhammad Shafii (1985), Freedom from the self: Sufism, meditation and psychoterapy, yang telah diterjemahkan secara bebas oleh M.A.Subandi dkk (2004), Psikoanalisis dan Sufisme, Yokyakarta: Campus Press.

Nasr, S.H. 1964. Three Muslim sages : Avicenna, Subrawardi, Ibn Arabi. Cambridge, Mass: Harvard University Press.

Nicholson, Mathnawi, Buku III, h.218-219)

Schimel (1975) Mystical dimensions of Islam, Capel Hill: University of Nort Carolina Press,

Steingass, F. 1963. A comprebensive-English Dictionary. London: Routledge & Kegan Paul



[1]Lihat keterangan lengkap oleh Muhammad Shafii (1985), Freedom from the self: Sufism, meditation and psychoterapy, yang telah diterjemahkan secara bebas oleh M.A.Subandi dkk (2004), Psikoanalisis dan Sufisme, Yokyakarta: Campus Press.

[2]Dari penelitian yang telah dilakukan penulis, ditemukan kalimat-kalimat dari al-Qur’an yang mengacu pada kata “nafs” dalam bentuk-bentuk kata jadian, yaitu:

تنفس – يتنا فس – متنا فس – نفس – نفو س - أنفس

Arti kata nafs dalam berbagai bentuk kata jadiannya, dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh macam. Dari sepuluh klasifikasi arti nafs dalam al-Qur’an, tujuh bagian, nafs berhubungan dengan konteks manusia, sedangkan tiga bagian tidak berhubungan langsung dengan nafs dalam konteks manusia, sebagai sesuatu yang dianggap paling esensial dalam diri manusia. Al-Qu’an menggunakan kata nafs terkait erat dengan hal berikut, yaitu Nafs, sebagai ruh dan nyawa, Nafs, sebagai hati,Nafs, sebagai sisi dalam manusia Nafs, sebagai jiwa,Nafs, sebagai hawa nafsu, Nafs, sebagai totalitas manusia, Nafs, sebagai diri, orang, manusia, Lihat, al-mu’jam al-munfahras li alfazil-Qur’an, karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-nafs dan juga indek terjemah al-Qur’an Karim karya Drs. Hamid Hasan Qolam. 2000.

Dalam Bahasa Arab, kata nafs bisa berarti bernafas, kehidupan binatang, jiwa, roh, diri, dividual, substansi, dari inti., Nafs berhubungan dengan kata “nephes” (jiwa) dalam bahasa Hebrew (Ibrani, bahasa orang Yahudi), lihat juga, Steingass, F. 1963. A comprebensive-English Dictionary. London: Routledge & Kegan Paul

[3]Morewedge, P. 1973. The metaphysica of Avicenna (ibn Sina). A critical translation-commentary and analysis of the fundamental arguments in Avicenna’s Metaphysica in the Danish Nama-I-ala’i (The Book of Scientific Knowledge). New York : Columbia University Press.

[4]Dalam bahasa Indonesia istilah al-nafs sering diterjemahkan sebagai “jiwa”. Seiring juga dikacaukan dengan istilah “nafsu” yang berarti dorongan, hasrat, keinginan. Untuk menghindari kesimpangan-siuran ini, maka istilah nafs tetap juga dipertahankan dalam tulisan ini, disamping kata jiwa sebagai terjemahan bahasa Indonesianya.

[5] Ibnu Sina adalah seorang dokter, ilmuwan, filosof, dan psikolog dari Persia kira-kira 1000 tahun lalu, dalam buku al-Shifa’ (The Book of Healing) telah membahas secara mendetail persoalan jiwa manusia.

[6] Muhammad Shafii (1985), adalah seorang psikiater di Lausisville University Kentaky, USA, dalam bukunya Freedom from the self: Sufism, meditation and psychoterapy, yang telah diterjemahkan secara bebas oleh M.A.Subandi dkk (2004), Psikoanalisis dan Sufisme, Yokyakarta: Campus Press, hal.6

[7] Nasr, S.H. 1964. Three Muslim sages : Avicenna, Subrawardi, Ibn Arabi. Cambridge, Mass: Harvard University Press.

[8] Ibnu Sina, Syeikh Husain Ibn Abdullah, Syifa’ Ibn Sina Publising Company. 1352 H. dalam Muhammad Shafii, Psikoanalisis dan Sufisme, terjemahan M.A. Subandi dkk, (2004) hal. 7

[9] Ibnu Sina, Syifa h. 42

[10]Nafs dalam arti ini, lebih sebagai hawa nafsu, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an QS.5:30, QS.12:53, QS.20:96, QS.53:23, QS.2:187, QS. 5:70. Lihat juga Shah, I. 1964. The Sufis. Garden City, N.Y.: Doubleday. h.394.

[11] Seperti juga di Indonesia kata nafs sering diidentikkan dengan “nafsu” Lihat Schimel (1975) Mystical dimensions of Islam, Capel Hill: University of Nort Carolina Press, h. 112

[12] Freud, S. 1923. The ego and the id. Standard ed., 19, 3-66.

[13] Ia adalah seorang penerjemah aktif terhadap tulisan Freud dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris, dalam kata pengantarnya menulis : Buku “The Ego and the Id” adalah tulisan teoritis terakhir dari Freud.

[14] Moore, B.E., & Fine, B.D. (Eds.). 1968. Aglossary of psychoanalytic terms and concepts. (2nd ed.) New York : American Psychoanalytic Association.

[15] Freud, S. 1923. The ego and the id. Standard ed., 19, h. 7.

[16] Freud, S. 1923. The ego and the id. Standard ed., 19, h. 40

[17] Ibnu Sina, Syifa’ h. 41-51

[18] Ibid. Lihat juga Muhammad Shafii (1985), Fredom from the self; sufism meditation and psychotherapy, Human Sciences Pr, hal. 14

[19] Lihat Muhammad Shafii (1985), Fredom from the self; sufism meditation and psychotherapy, hal. 17

[20] Muhammad Shafii (1985), Ibid.

[21] Freud, S. 1923. The ego and the id. Standard ed., 19, h. 25.

[22] Freud (1923, 1926, 1937), Anna Freud (1936, 1965), Hartmann (1939, 1964), Erikson (1950), dan Kohut (1971, 1977, 1978) mempunyai sumbangan yang signifikan dalam perkembangan ruang lingkup psikologi ego ini.

[23] Hartmann (1939) menyatakan bahwa beberpa fungsi ego ternyata bebas konfliks (conflict-free). Ia menulis:

“Tidak setiap penyesuaian diri dengan lingkungan atau setiap proses belajar dan proses pematangan diri adalah sebuah konflik. Saya menganggapnya sebuah perkembangan yang berada di luar areal konflik, yang menyangkut presepsi, intensi, pemahaman objek, berpikir, bahasa, mengingat kembali, produktivitas, menuju fase yang lebih dikenal dalam perkembangan motorik, menggenggam, merangkak, berjalan, dan menuju pada proses pematangan dan proses belajar yang menyeluruh.”

[24] Moore, B.E., & Fine, B.D. (Eds.). 1968. Aglossary of psychoanalytic terms and concepts. (2nd ed.) New York : American Psychoanalytic Association. h. 28.

[25] Moore, B.E., & Fine, B.D. (Eds.). 1968. Aglossary of psychoanalytic terms and concepts. (2nd ed.) New York : American Psychoanalytic Association. h. 74.

[26] Anna Freud (1936) dalam The Ego and the Mechanisms of Defense, menganggap bahwa dalam tahap awal perkembangan manusia, pertahanan mental muncul dari ego sebagai hasil dari konflik antara harapan-harapan dan keinginan hati dari id dan pembatasan-pembatasan dan desakan kenyataan dari luar.

[27] Lihat, Meissner, W.W., Mack, J.E., & Semrad, E.V. 1975. Theories of personality and psychopathology : I. Freudian school. In A.M. Freedman, H.I. Kaplan, & B.J. Sadock, (Eds.), Comprehensive textbook of psychiatry (II). (2nd ed.). Baltimore : Williams & Wilkins. h. 535-536).

[28] Lihat, Moore, B.E., & Fine, B.D. (Eds.). 1968. Aglossary of psychoanalytic terms and concepts. (2nd ed.) New York : American Psychoanalytic Association. h. 94.

[29] Moore, B.E., & Fine, B.D. (Eds.). 1968. Aglossary of psychoanalytic terms and concepts. (2nd ed.) New York : American Psychoanalytic Association. h. 76.

[30] Freud, pada tahun 1900, dengan publikasi bukunya yang mengubah sejarah, The Interpretation of Dream, mendeskripsikan dengan jelas tentang peran alam bawah sadar dan peranan trauma psikis dalam proses timbulnya mimpi. Ia juga berpendapat bahwa trauma psikis yang berlebihan dan konflik alam bawah sadar mempunyai peran dalam timbulnya simtom-simtom neurotik sebagai sebuah kompromi antara keinginan-keinginan seksual yang terlarang dan larangan sosial, orang tua, dan keluarga dalam melawan keinginan tersebut.

[31] Jung melakukan perjalanan ke Timur dan menggali tradisi psikomistis, khususnya di India. Pengalaman ini membantu Jung untuk merumuskan ide “Ketidaksadaran Kolektif”.

[32] Jung, murid Freud yang utama, meluaskan konsep-konsep dorongan seksual dari id atau teori libido (1909 – 1910). Jung, seperti kebanyakan ahli pikir dari Timur, ahlsi Sufi atau Yogi, percaya bahwa libido tidak hanya melambangkan hasrat seksual dalam kehidupan manusia, tetapi juga melambangkan kesatuan dan kekuatan pemersatu dalam alam yang mentransendensikan seksualitas. Ia mengartikan libido sebagai “cinta” atau “energi hidup”, dan merasa bahwa ini mendasari semua fenomena alam. Menanggapi konsep Jung ini, Freud khawatir bahwa ide ini akan dapat mengurangi aspek ilmiah dan rasional dari psikoanalisis dan akan menurunkan kontribusinya yang dalam menjelaskan peran insting seksual dalam perkembangan kepribadian.

[33] Jung, C. 1940. The Integration of the Personality. London : Lowe & Brydone. h. 24-25.

[34] Whyte, L.L. 1962. The Unconscious before Freud. Garden City, N.Y. : Doubleday. h. 57.

[35] Whyte, L.L. 1962. The Unconscious before Freud. Garden City, N.Y. : Doubleday. h. 57.

[36] Whyte, L.L. 1962. The Unconscious before Freud. Garden City, N.Y. : Doubleday. h. 58.

[37] Ibnu Sina, Sifa’ hal 216

[38] Ibnu Sina, Sifa’ h. 213-216.

[39] Berasal dari istilah the seeker, yang dimaksud orang-orang yang menempuh jalan sufi (saalik), yang sering juga disebut sang pengembara (the traveller) (pen).

[40] Al-Ghazali, (w1111M-1352H) Kimiya al-Sada. Tt, h. 6

[41] Ghazali, Ibid. . h. 14-15.

[42] Ghazali, ibid. h. 19.

[43]Istilah ini ditujukan bagi orang yang menempuh jalan (tarekat) Sufi untuk mencapai proses perkembangan dan integrasi diri. Istilah ini adalah terjemahan dari kata saalik dalam bahasa Arab dan the traveller dalam bahasa Inggris. Dalam buku ini istilah “seorang pencuri” (the seeker) yaitu orang yang mencari Kebenaran, lebih banyak digunakan dari pada istilah “seorang pengembara” (the traveller), meski keduanya mempunyai arti yang sama (pen).

[44] Rumi, seorang penyair Sufi di abad ketiga belas, menggambarkan perjalanan tersebut:

Aku mati dari kondisi mineral dan berubah menjadi keadaan tumbuhan, Aku mati dari keadaan tumbuhan dan menjadi binatang, Aku mati dari keadaan binatang dan menjadi manusia, Mengapa, kemudian, aku harus takut ketika aku harus berakhir karena kematian?

Pada tingkat selanjutnya, aku harus mati dari bentuk manusia, membuat aku dapat terbang dan menengadahkan kepalaku di antara malaikat-malaikat; Kemudian, aku akan dibebaskan dari keberadaan sebagai malaikat; “semuanya binasa, kecuali wajah Tuhan” Sekali lagi aku harus berkorban dan mati… Aku harus menjadi sesuatu yang tidak ada dalam imajinasi, Kemudian aku harus menjadi tidak ada: Ketidakadaan berkata kepadaku,…“Sesungguhnya, kepada-Nya kita harus kembali”

(Dimodifkasi dan diadaptasi dari terjemahan Nicholson, Mathnawi, Buku III, h.218-219)